SILANEWS - Setiap menjelang Hari Raya Idul Adha, penulis selalu teringat akan tulisan Ahmad Tohari yang dimuat di harian Republika tanggal 18 Desember 2007 mengenai sosok seorang wanita seorang penjual nasi bungkus bernama Yu Timah yang gigih ingin melaksanakan ibadah kurban, meski karena kemiskinannya yang bersangkutan tidak memiliki kewajiban untuk melaksanakannya.
Dalam tulisannya Ahmad Tohari bercerita mengenai sosok wanita bernama Yu Timah, salah seorang penerima Subsidi Langsung Tunai (SLT) pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono periode pertama (2004-2009). Sebagai penerima SLT, Yu Timah merupakan bagian dari 39 juta orang miskin di Indonesia saat itu. Meski tergolong miskin, Yu Timah tidak surut semangatnya untuk menjalankan ibadah kurban sebagaimana anjuran untuk berkurban yang tercantum dalam surat Al-Kautsar, “Maka laksanakanlah shalat karena Tuhanmu, dan berkurban lah (sebagai ibadah untuk mendekatkan diri kepada Allah).” (QS. Al-Kautsar: 2). Yu Timah gigih menabung rupiah demi rupiah dari jerih payahnya bekerja untuk membeli seekor kambing yang akan dikurbankan pada hari raya.
Perjuangan Yu Timah untuk bisa menjalankan ibadah kurban tentu saja menarik untuk disimak dan diteladani. Melalui Yu Timah, kita diingatkan untuk memelihara keimanan dan keteguhan terhadap perintah Allah SWT, sebagaimana keteguhan dan keimanan yang dimiliki Nabi Ibrahim AS saat diperintah Allah SWT untuk menyembelih putranya tanpa keraguan.
Melalui Yu Timah pula, kita seperti diingatkan akan seruan saat orang berhaji melakukan wukuf di padang Arafah, “Labbaik Allahuma Labbaik” (Aku datang memenuhi panggilan-Mu ya Allah). Seruan kepada kita semua untuk mengisi jiwa dengan kesediaan berkurban di sisi Allah, melandasi ibadah yang setiap hari kita kerjakan.
Mengutip pesan Prof. Dr. Thaufic Boesoirie, Khotib sholat Idul Adha di KBRI Brussel (18/12/2007) “Ibadah kurban tidak hanya mengingatkan perlunya berkorban harta, waktu, dan pikiran saja, akan tetapi juga mengurangi rasa egoisme yang tega mengorbankan orang lain, serta berkorban untuk menahan diri dari sikap menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan, yang secara sadar maupun tidak sadar, telah menjadi kebiasaan sebagian masyarakat kita”.
Penulis meyakini bahwa Yu Timah tidak pernah mengenal Prof. Thaufic dan mendengarkan pesannya secara langsung, namun dari tindakannya, penulis meyakini bahwa Yu Timah sudah paham mengenai perlunya mengurangi rasa egoisme dan tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai suatu tujuan. Oleh karena itu, dalam melaksanakan niatnya untuk berkurban, Yu Timah tidak menghalalkan segala cara untuk membeli hewan kurban, melainkan berupaya menyisihkan sebagian pendapatannya dan menabungnya sedikit demi sedikit agar bisa membeli hewan kurban.
Yu Timah tidak banyak berteori dalam menerjemahkan dan mengaktualisasikan makna berkurban dan tidak gembar-gembor menyerukan “Saya Pancasila”. Seolah merujuk HR Ahmad dan Ibnu Majah yang berbunyi “setiap helai rambut kurban adalah suatu kebaikan,” maka Yu Timah hanya berupaya berbuat baik sesuai kemampuannya dan tidak menghalalkan segala cara.
Oleh karena itu, dari kesederhanaan dan kearifan lokal yang dimiliki Yu Timah kita belajar untuk mendengar, mengerti, menghayati, ikhlas dan kemudian menginternalisasi ajaran kurban yang ditinggalkan oleh Nabi Ibrahim AS dan Ismail AS sehingga rela mengurbankan hampir seluruh hartanya. Bagaimana ibadah kurban mengubah Yu Timah untuk menjadi lebih takwa kepada Allah SWT dan menerjemahkannya dalam perbuatan, sementara banyak orang yang telah menunaikan ibadah haji tidak berubah wataknya, seperti tetap berperilaku koruptif dan jilat sana-sini untuk mengamankan jabatan.
Lalu bagaimana cerita yang dituliskan Ahmad Tohari? Berikut ceritanya:
Ini kisah tentang Yu Timah. Siapakah dia? Yu Timah adalah tetangga kami. Dia salah seorang penerima program Subsidi Langsung Tunai (SLT) yang kini sudah berakhir. Empat kali menerima SLT selama satu tahun jumlah uang yang diterima Yu Timah dari pemerintah sebesar Rp 1,2 juta. Yu Timah adalah penerima SLT yang sebenarnya. Maka rumahnya berlantai tanah, berdinding anyaman bambu, tak punya sumur sendiri. Bahkan status tanah yang di tempati gubuk Yu Timah adalah bukan milik sendiri.
Usia Yu Timah sekitar lima puluhan, berbadan kurus dan tidak menikah. Barangkali karena kondisi tubuhnya yang kurus, sangat miskin, ditambah yatim sejak kecil, maka Yu Timah tidak menarik lelaki manapun. Jadilah Yu Timah perawan tua hingga kini. Dia sebatang kara. Dulu setelah remaja Yu Timah bekerja sebagai pembantu rumah tangga di Jakarta. Namun, seiring usianya yang terus meningkat, tenaga Yu Timah tidak laku di pasaran pembantu rumah tangga. Dia kembali ke kampung kami. Para tetangga bergotong royong membuatkan gubuk buat Yu Timah bersama emaknya yang sudah sangat renta. Gubuk itu didirikan di atas tanah tetangga yang bersedia menampung anak dan emak yang sangat miskin itu.
Meski hidupnya sangat miskin, Yu Timah ingin mandiri. Maka ia berjualan nasi bungkus. Pembeli tetapnya adalah para santri yang sedang mondok di pesantren kampung kami. Tentu hasilnya tak seberapa. Tapi Yu Timah bertahan. Dan nyatanya dia bisa hidup bertahun-tahun bersama emaknya. Setelah emaknya meninggal Yu Timah mengasuh seorang kemenakan. Dia biayai anak itu hingga tamat SD. Tapi ini zaman apa. Anak itu harus cari makan. Maka dia tersedot arus perdagangan pembantu rumah tangga dan lagi-lagi terdampar di Jakarta. Sudah empat tahun terakhir ini Yu Timah kembali hidup sebatang kara dan mencukupi kebutuhan hidupnya dengan berjualan nasi bungkus. Untung di kampung kami ada pesantren kecil. Para santrinya adalah anak-anak petani yang biasa makan nasi seperti yang dijual Yu Timah.
Kemarin Yu Timah datang ke rumah saya. Saya sudah mengira pasti dia mau bicara soal tabungan. Inilah hebatnya. Semiskin itu Yu Timah masih bisa menabung di bank perkreditan rakyat syariah di mana saya ikut jadi pengurus. Tapi Yu Timah tidak pernah mau datang ke kantor. Katanya, malu sebab dia orang miskin dan buta huruf. Dia menabung Rp 5.000 atau Rp 10 ribu setiap bulan. Namun setelah menjadi penerima SLT Yu Timah bisa setor tabungan hingga Rp 250 ribu. Dan sejak itu saya melihat Yu Timah memakai cincin emas. Yah, emas. Untuk orang seperti Yu Timah, setitik emas di jari adalah persoalan mengangkat harga diri. Saldo terakhir Yu Timah adalah Rp 650 ribu.
Yu Timah biasa duduk menjauh bila berhadapan dengan saya. Malah maunya bersimpuh di lantai, namun selalu saya cegah.
Artikel Terkait
Tips Mengolah Daging dari Hewan Kurban dengan Benar dan Aman ala Rizki Nurmalya Kardina
Jajaran Polda Metro Jawa dan Sejumlah UMKM Tidak Menyalurkan Daging Kurban, Melainkan Berupa Rendang 11 Ton
Nindya Karya Sumbangkan Hewan Kurban pada Momen Idul Adha 1443 H
Potong Hewan Kurban di RPH, Abdul Mu’ti Ingatkan Ciri ‘Islam Berkemajuan’ dalam Ibadah Kurban
Presiden Jokowi Berikan Sapi Kurban ke Tiap Provinsi pada Iduladha 1444 H